Sabtu, 06 Oktober 2012

"Apakah Suami Diperbolehkan Menceraikan Isterinya?"

Injil Markus 10 : 1 - 12

Dan dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situpun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula.
Maka datannglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepadaNya:
Kembang Putrimalu
 "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?"
Tetapi jawabNya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?"

Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai."
Lalu kata Yesus kepada mereka:  

"Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

Ketika mereka sudah sampai di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kataNya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri  menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah."

Renungan:

Saya sering bertanya dalam hati, mengapa ada keluarga begitu mudah bercerai yang dilandasi oleh hal-hal yang mungkin sepeleh, seperti: "Karena sudah tidak cocok lagi?" Apakah waktu pacaran hanya digunakan untuk bersenang-senang saja, pergaulan hanya dipandang dari segi yang positif saja dan melupakan kelemahan-kelemahan yang justru menjadi ujian bagi kualitas cinta suami isteri?

Yesus mengajak orang Farisi dan para murid kembali kepada maksud Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian. Seorang laki-laki meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan perempuan yang menjadi isterinya.  Pertemuan mereka disatukan Allah di dalam sakramen perkawinan. Sehingga perkawinan harus dihayati sebagai suatu ikatan manusiawi yang dikuatkan oleh Allah sendiri. Yang berarti karya Allah tidak dapat dibatalkan oleh manusia dengan alasan-alasan yang egoistis.

Ada cerita, seorang ibu yang datang kepada pastor dan mengeluh bahwa suaminya terlalu galak sehingga perkawinan mereka tidak dapat diteruskan. "Bagaimana reaksi ibu bila suami marah?", tanya pastor. "Saya tidak tinggal diam pastor, mulutku diciptakan Tuhan untuk makan dan bicara, maka ketika suami marah, saya gunakan mulut sebaik-baiknya untuk membalasnya." Jawab si ibu bangga.

Setelah mendengarkan cerita ibu itu panjang lebar, pastor membuka kulkas, mengeluarkan sebuah botol aqua dan memberikan kepada ibu itu dengan pesan: "Ibu... begitu suamimu tiba dari kantor, ibu minum air ini tetapi tidak boleh ditelan dan juga tidak boleh dimuntahkan. Suami marah atau bicara apa saja, ibu tentu tidak dapat membalasnya karena ada air di dalam mulut. Ingat ibu...air ini sudah diberkati maka hanya digunakan bila suami ada di rumah. Minggu depan ibu boleh kembali bila masih memerlukan botol yang kedua."

Kisah itu tidak dilanjutkan, tetapi sedikit mempertegas bahwa perkawinan adalah pertemuan "dua kutub" yang bertolak belakang yang hanya bisa dipadukan dengan pengorbanan, saling memahami, saling mendengarkan dan saling-saling yang lain untuk memperkokoh perkawinan itu. Dengan demikian perkawinan yang suci karena dimeteraikan oleh Allah tidak dirusak oleh nafsu egoistis manusiawi.
***  





Tidak ada komentar:

Posting Komentar