Jumat, 21 September 2012

Mengalami Kasih Allah


Setiap orang tentu memiliki pengalaman akan Kasih Allah sesuai imannya. Ada yang begitu terbuka dan menganggap bahwa dirinya selalu berada dalam rangkulan Kasih Allah. Tetapi ada banyak juga yang menganggap bahwa diri kemanusiawiannya sedemikian penuh kekurangan sehingga tidak layak mengartikan peristiwa manusiawi dengan Yang Mahakudus.

Memang tidak bisa digeneralisir, bahwa setiap kegiatan ada dalam penyelenggaraan Tuhan. Ada peristiwa-peristiwa khusus yang dapat ditandai sebagai adanya Kasih Allah, seperti pengalaman-pengalaman saya berikut ini:

* Ketika berusia sekitar 5 tahun, saya dan kakak perempuan menghadiri perayaan Ekaristi di gereja desa Waiteba. Kami anak-anak mengikuti misa pagi, karena para orang tua dan kebanyakan orang dewasa akan menghantar mereka yang merayakan Penerimaan Komuni Kudus (=Sambut Baru) pada misa yang kedua. Saya sendiri belum mengerti dan mengikuti saja apa yang dikatakan orang dewasa. Keluar dari gereja dan setiba di rumah saya dan kakak ke rumah tetangga untuk mengambil api. Maklumlah pada waktu itu (1966) belum ada pemantik dan korek api. Hanya orang tertentu yang bisa membuat api dengan 'klul' yaitu batu keras sebesar kerikil yang dibenturkan pada selempeng besi sehingga menimbulkan bunga api dan 'ditangkap dengan 'rapo' (serbuk dari pelepah aren). Itu cara pertama, sedangkan cara kedua menggunakan 'kenehang,'
yaitu dua bilah bambu kering yang digesek sampai panas dan mengeluarkan bunga api yang ditangkap dengan sabut kelapa yang halus dan kering.



Ketika baru beberapa minggu duduk di kelas satu Sekolah Dasar (SD), saya sangat tertarik pada sebuah gambar kartun seorang anak kecil seusiaku (sekitar 5 atau 6 tahun). Anak lelaki itu rupanya kehujanan, tetapi ia dengan bangga mengangkat tangannya dan berseru, "Aku ini Anak Allah".

Gambar itu saya hanya lihat dua kali, kemudian terlupa karena pada bulan ketiga saya dibawa orangtua pindah sekolah ke kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar